Powered By Blogger

Rabu, 10 November 2010

Perbedaan Nahwu & Sharf



Assalamu’alaikum. . kita sering denger istilah Nahwu dan Sharaf.. tapi kita tahu gak ya, bedanya nahwu sama sharaf itu apa? soalnya biasanya, ketika disebut nahwu maka sharaf ikut disebut dan sebaliknya.. lalu, apa dong bedanya?

Nahwu: secara bahasa memiliki arti seperti atau misalnya (Kamus Al Munawwir)
secara istilah, sebagaimana yg dikatakan pengarang kitab Al Fawakih Al janiyyah, sebuah kitab penjelasan dari kitab Mutammimah (yang merupakan penjelasan dari kitab jurmiyyah):
Nahwu adalah ilmu tentang pokok, yang bisa diketahui dengannya tentang harkat (baris) akhir dari suatu kalimat baik secara i’rab atau mabniy… (baris atau harkat yg dimaksud disini adalah baris atau harkat terakhir dari suatu kata, contoh Alhamdu, maka yg dibahas dalam ilmu nahwu adalah harkat terakhir yaitu dhammah dri kata du)

biar pada ngerti maka kita make contoh dah… misalnya kita baca basmallah kan bismillahIrrahmanIr ahimi.. pernah kepikir gak knp dibaca kayak gitu? kenapa bismillahi gak BismillahA atau bismillahu? Arrahmani gak Arrahmana atau Arrahmanu? nah, disinilah fungsi ilmu nahwu, yaitu membuat sebuah kata bisa dibaca dengan benar sehingga menghasilkan makna atau arti yang benar.. karena bahasa arab itu, beda baris, maka bisa beda makna bahkan ada yg gak bisa diartiin kalo barisnya salah… catet!

Sharaf: secara bahasa memiliki arti perubahan kata (kamus Al Munawwir) secara istilah sharaf adalah perubahan bentuk kata dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain… misalnya, dalam bahasa indonesia, kita bisa menggunakan kata teman, berteman, pertemanan, menemani, ditemani.. maka begitu juga dengan bahasa arab.. dan ilmu sharaf lah yang membahas masalah seperti itu…

dah tau kan bedanya???

Senin, 08 November 2010

Ilmu sharaf itu mudah & penting


Ilmu Shorof : Pembagian Fi’il
Oktober 7, 2010

Setelah sebelumnya mendefinisikan kata Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. Dilanjutkan mengenai Fi’il dan Pembagian Fi’il. Fi’il (kata kerja) adalah kalimat (Bahasa Indonesia: kata) yang memiliki arti pada dirinya sendiri dan berhubungan dengan waktu, yaitu waktu Maadhi (lampau) Haal (sekarang) dan Istiqbaal (akan datang).

Kailani, 2 :
ثُمَّ الْفِعْلُ اِمَّا ثُلاَثِيٌّ وَاِمَّا رُباَعِيٌّ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اِمَّا مُجَرَّدٌ أَوْ مَزِيْدٌ فِيْهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا سَالِمٌ أَوْ غَيْرُ سَالِمٍ


Kemudian Fi’il itu, satu sisi: ada yang berbangsa tiga huruf (Tsulatsiy), dan pada sisi yang lain: ada yang berbangsa empat huruf (Ruba’iy). Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid. Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.
Kailani, Pembagian Fi'il

Keterangan :

(1). Fi’il Tsulatsiy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah tiga. seperti ضَرَبَ dho-ro-ba, arti: memukul.

(2). Fi’il Ruba’iy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah empat. seperti دَحْرَجَ da-kh-ra-ja, arti: menggelincirkan.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa semua Asal huruf-huruf Fi’il itu terfokus hanya kepada dua pembagian Fi’il tsb yaitu Tsulatsiy dan Ruba’iy. Sebagai patokan bahwa tidak ada asal huruf Fi’il itu kurang dari tiga, atau lebih dari empat. Ketetapan ini sudah diakui merupakan pengkajian dari kalam Arab.
» Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid.

(1). Mujarrad, artinya sepi dari tambahan pada asal huruf-hurufnya.

(2). Mazid, artinya ada penambahan pada asal huruf-hurufnya, baik tambahan satu huruf atau lebih, seperti: أَضْرَبَ a-dh-ra-ba arti: mendiami. dan تَدَحْرَجَ ta-da-kh-ra-ja arti: tergelincir.

» Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.

(1). Salim, artinya selamat pada Asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .

Contoh :

ضَرَبَ – دَحْرَجَ

(2). Ghair Salim, artinya tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .

Contoh :

وَعَدَ – زَلْزَلَ

(Ibnu Toha)


Ilmu Shorof : Definisi Tashrif
Oktober 4, 2010

Sharaf atau dibaca Shorof adalah salah satu nama cabang Ilmu dalam pelajaran Bahasa Arab yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata (Bahasa Arab : kalimat). Perubahan bentuk kata ini dalam prakteknya disebut Tashrif. Oleh karena itu dinamakan Ilmu Sharaf (perubahan ; berubah), karena Ilmu ini khusus mengenai pembahasan Tashrif (pengubahan; mengubah).

Kailani, 1 :
اِعْلَمْ، اَََنَّ التَّصْرِيْفَ فِي اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِي الصَّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ اْلأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لاَ تَحْصُلُ اِلاَّ بِهَا.

Ketahuilah, bahwasanya yg dinamakan Tashrif menurut Bahasa adalah : pengubahan. Sedangakan menurut Istilah adalah: pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh (bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu.
Keterangan :

Asal bentuk kalimat adalah Masdar, ini menurut pendapat Ulama Bashrah. Pendapat ini lebih banyak mendapat dukungan. Sedangkan menurut Ulama Kufah, asal bentuk kalimat adalah Fi’il Madhi.

Asal bentuk adalah Masdar, dikonversikan ke sampel-sampel yang lain misalnya : Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’, Fi’il Amar, Fi’il Nahi, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Isim Zaman, Isim Makan, Isim Alat, Isim Murrah, Isim Hai’ah, Isim Nau’, Isim Tafdhil, Shighat Mubalaghah dan lain-lain. Perubahan ke sampel-sampel tersebut, tujuannya untuk menghasilkan makna yang diinginkan, tanpa mengubah ke sampel-sampel tersebut maka kita tidak akan berhasil mencapai kepada makna yang kita inginkan.
Contoh:

Asal kalimat adalah Masdar : ضَرْبٌ dibaca : Dhorbun, bermakna : Pukulan.

Dirubah ke sampel Fi’il Madhi menjadi : ضَرَب dibaca : Dhoroba, bermakna: Telah memukul.

Dirubah ke sampel Fi’il Mudhari’ menjadi : يَضْرِبُ dibaca: Yadhribu bermakna : Akan memukul.

Dirubah ke sampel Fi’il Amar menjadi : اِضْرِبْ dibaca : Idhrib bermakna : Pukullah! Dan sebagainya.

Contoh tersebut di atas dikatakan Tashrif, yaitu pengubahan asal bentuk yang satu kepada sampel-sampel bentuk yang lain untuk menghasilkan makna yang dimaksud. Demikian pembahasan Definisi Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. *** (Ibnu Toha).

Nahwu itu juga mudah & penting

Cara Mudah Dan Menyenangkan Dalam Mempelajari Ilmu Tata Bahasa Arab (Nahwu & Shorof)

Sebagian orang menganggap bahwa belajar ilmu tata bahasa arab sangat sulit, rumit, membosankan, membutuhkan waktu yang lama dalam mempelajarinya, dan hanya orang yang belajar di pondok pesantren saja yang sanggup menguasainya. Bahkan pernah ada orang yang bertanya kepada saya melalui sms dengan bunyi demikian: “Asslmualaikm. sy tak pernah habis pkr knapa ilmu nahwu-sharaf dianggap sbg ilmu yang menakutkan, apkh ilmu itu mbuat otak kita jd blo’on klu kita tak sanggup mnrimanya, apkh ilmu nahwu sharaf trmask ilmu kebatinan???”

Cara Mudah Dan Menyenangkan Dalam Mempelajari Ilmu Tata Bahasa Arab (Nahwu & Shorof)

Sebagian orang menganggap bahwa belajar ilmu tata bahasa arab sangat sulit, rumit, membosankan, membutuhkan waktu yang lama dalam mempelajarinya, dan hanya orang yang belajar di pondok pesantren saja yang sanggup menguasainya. Bahkan pernah ada orang yang bertanya kepada saya melalui sms dengan bunyi demikian: “Asslmualaikm. sy tak pernah habis pkr knapa ilmu nahwu-sharaf dianggap sbg ilmu yang menakutkan, apkh ilmu itu mbuat otak kita jd blo’on klu kita tak sanggup mnrimanya, apkh ilmu nahwu sharaf trmasuk ilmu kebatinan???”

التَّعَجُّبُ
بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا # أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا
وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا
وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ # إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ
وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا # مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا
وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا
وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ
وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا
وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ
وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ
وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا
وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ
- الفية ابن مالك


Keterangannya :

Kyai Musonif akan menerangkan Bab Ta’ajjub. Apa sebabnya bab ta’ajjub (Di Kitab) disampaikan setelah bab sifat musyabbahah. Karena antara sifat musyabbahah dengan ta’aajub terdapat wajah kebersamaan (musyarokah).

Adapun yang terdahulu membuat shegat ta’ajjub adalah putera perempuannya Imam Abu Aswad Addualie, yaitu pernah mengatakan begini : “Maa Asyaddul harri ?”. Terus kalimah itu dibetulkan oleh ayahandanya sebab tarkibannya salah. Adapun yang benarnya adalah begini : ”Maa Asyaddal harro”, artinya : “Amat sangat panasnya”, dan (mengingat) ta’rifnya ta’ajjub itu yaitu : “Idrooku umuurin ghooribatin khoofiyatis-sabab”. Artinya : “Menemukan perkara yang aneh dengan tidak hafal sebabnya”.

Syarat ta’ajjub itu ada tiga : 1. Harus menyandar (sanding) antara Maa Ta’ajjub dengan Fi’il Ta’ajjub. 2. Fi’ilnya harus bangsa Tsulatsie. 3. Asal pokok Mu’ta’ajjub Minhu-nya wajib ma’rifat, ilatnya lietahsielil faa idah.

Rukun ta’ajjub itu ada tiga : 1. Maa ta’ajjubiyah. 2. Fi’il ta’ajjub. 3. Muta’ajjub minhu (ma’mul ta’ajjub).

Pembagian ta’ajjub itu ada dua : 1. Ta’ajjub Dzatie, yaitu bilamana ta’ajjub diatur dengan wazan “Maa Af’ala” dan “Af’il Bihi”. 2. Ta’ajjub ‘Arodhie, yaitu ta’ajjub yang keluar dari wazan “Fa’ila” dipindahkan ke wazan “Fa’ula” seperti “Qodhuwar rojulu”, dan yang keluar dari jumlah ismiyah seperti “Wallohu dhorruhu faa risan”.

Kesimpulan tiap2 Bait :

Ta’ajjub adalah berarti juga ; “Memperbesar kelebihan pada sifat fa’il yang penyebabnya masih samar”. Ini sebaik2nya ta’rif seperti pendapat Ibnu Ushfur ; “Huwas-ti’dhoomu ziyaadatin fie wasfil-faa’ili khofiya sababuhaa”. (Ibnu Hamdun : 1 ; 232)

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 1 di atas :

بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا # أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا

“Dengan yg turut akan wazan af’ala, harus mengucapkan kamu (halnya tetap) setelah maa ta’ajjub ; Atau mendatangkan kamu kepada mauzuun yg turut akan wazan af’il, halnya tetap sebelum isim yang dijarkan oleh ba ziyadah”.

Bentuk pertama : Bilamana akan menjadikan fi’il ta’ajjub, samakan saja kepada wazan “af’ala”, diamkan setelah lafadh “maa”.

Contoh : “Maa ahsana zaidan” (Alangkah baiknya Si Zaed). – “Maa afdholahuu wa maa a’lamahuu” (Alangkah utamanya dia dan alangkah alimnya dia).

“Maa” adalah mubtada (ini kata khusus permulaan kata fi’il ta’ajjub) bermakna sesuatu, dan “af’ala” adalah fi’il madhi (kata kerja lampau bangsa tsulatsie -majied- / berasal dari tiga huruf yg menerima tambahan), sedangkan fa’ilnya (subjeknya) adalah dhamir (kt ganti) yg tersembunyi wajib disembunyikan, yg kembali kepada “maa” ; dan isim yg dinashabkan ialah “muta’ajjub minhu” (pengikut amal), berkedudukan sebagai “maf’ul beh” (objek penderita), sedangkan jumlah semuanya merupakan khabar dari “maa”.

Bentuk kedua : Atau samakan saja kepada wazan “af’il”, diamkan setelah kalimat yang dijarkan oleh “ba-ziyadah”. Seperti “Ahsin bi zaedin ” (Alangkah baiknya si zaid) – “Akrim bihi” (Alangkah mulianya dia).

Lafadh “af’il” adalah fi’il yg lafadhnya berbentuk amar tetapi maknanya adalah ta’ajjub (bukan perintah), dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan “bi zaedin” adalah fa’ilnya.

Bentuk asal kalimah “Ahsin bi zaedin” (Alangkah baiknya Si Zaed) ialah “Ahsana Zaedun” (Si Zaed menjadi orang yg baik) ; perihalnya sama dengan “Auroqosy-syajaru” (Pohon itu telah berdaun), kemudian bentuknya diubah menjadi bentuk amar, maka dianggap tidak baik bila secara langsung disandarkan kepada isim dhohir, untuk itulah maka ditambahkan huruf “ba” pada fa’ilnya. (Wallohu ‘alam)

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 2 di atas :

وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا

“Dan harus menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala. Tegasnya harus menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala seperti Maa aufaa kholielaenaa wa ashdiq bihima (Seperti perkara yang memenuhi dua sahabat/kekasih kami, serta kaget benar keduanya)”.

Kalimah yang menyandar/sanding kepada fi’il ta’ajjub wazan “maa af’ala” maka harus dinashabkan. Contoh seperti “Maa ahsana zaidan”, Ilat sebabnya harus nashab ; “li anna ma’muulat-ta’ajjubi bi shurotil-fadhlati. Wa haqqul-fadhlati an yakuuna manshuuban” (karena sesungguhnya “ma’mul maa fi’il ta’ajjub” itu seperti tambahan/fadlah. Adapun hak-nya fadhlah terbuktinya dinashabkan).

Adapun kalimah yang menyandar kepada fi’il ta’ajjub wazan “af’il”, maka kalimat itu jar-kan oleh “haraf jar zaidah laazimiyyah”. Contoh seperti lafadh “Ahsin bi zaedaeni” dan seperti lafadh “Wa ashdiq bihimaa”.

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 3 di atas :

وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ # إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ

Adapun perkara fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu apabila ada dalil boleh dibuangnya, tetapkan (anggerkeun) fi’il ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh dalam sya’iran :

“Aroo umma amrin dam’uhaa qod tahadaroo ; Bukaa-an ‘ala amrin wa maa kaana ashbaroo”. “Wataqdieru maa kanaa ashbaroha“. (Menyaksikan saya akan ibunya Ki Amar air matanya betul2 telah berlinang ; oleh sebab menangisi Ki Amar dan semoga menjadi sabar ibunya Ki Amar).

“Haa” disitu (maa kanaa ashbaroha) adalah maf’ul lafadh ashbaro, dibuang karena menunjukkan kepada lafadh sebelumnya (“lidalaalati maa qoblahu alaih / alaih bima taqoddama”).

Contoh yg kedua seperti firman Alloh SWT ; “Asmi’ bihim wa abshir (wallohu ‘alam). Attaqdieru wa abshir bihim. “Bihim” dibuang setelah wa abshir”.

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 4 di atas :

وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا # مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا

Adapun perkara fi’il ta’ajjub, baik wazan af’ala ataupun wazan af’il, maka fi’il itu dicegah dua-duanya dari di-tashrif, meskipun mulanya menerima di-tashrif. Tegasnya tidak pernah digunakan wazan af’ala selain fi’il madhinya, dan tidak pernah digunakan wazan af’il selain fi’il amarnya.

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 5 / 6 di atas :

وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا
وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ

Apabila hendak mencetak fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu harus menyamakan kepada persyaratan yang tujuh, yg diterangkan dalam dua bait ini :

1. Harus fi’il bangsa tsulatsie. 2. Harus menerima di-tashrif. 3. Harus ada makna fi’il itu yang menerima pada saling melebihkan. 4. Fi’ilnya harus fi’il tam (tdk goer qiyas). 5. Fi’ilnya jangan manfi (negatif). 6. Dan tdk boleh fi’il yg mempunyai shegat sama kepada wazan af’ala. 7. Dan fi’ilnya tdk boleh yg majhul (pasif).

Contoh fi’il ta’ajjub yg memenuhi persyaratan seperti ini ; “Maa ahsana zaedun” dan seperti “Wa ashdiq bihi”.

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 7 / 8 di atas :

وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا
وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ

Bilamana terdapat fi’il kosong dari sebagian syarat, maka fi’il itu apabila dijadikan fi’il ta’ajjub gantikan saja oleh lafadh “Asydid” atau oleh lafadh “Asyadda”, atau “Syibahahnya”, tegasnya “Aktsaro” dan “Aktsir Bihi”. Kemudian ambil masdharnya fi’il yg kosong dari setengahnya syarat itu, simpan setelah lafadh “Asyadda”, bacanya harus “Dinashabkan”. Contoh seperti lafadh “Maa asyadda dakhrojatahu”, atau seperti lafadh “Maa asyadda istikhroojahu”.

Atau simpan setelah lafadh “Asydid” beserta wajib dijarkan oleh “Ba zaidah” masdar itu. Contoh seperti lafadh “Asydid bi dakhrojatihi”, atau seperti lafadh “Asydid bi istikhroojatihi” (Ini ruba’i).

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 9 di atas :

وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ

Bilamana ada fi’il kosong dari sebagian syarat, tetapi tetap dijadikan fi’il ta’ajjub, tapi tidak digantikan oleh lafadh “Asyadda”, tidak digantikan oleh lafadh “Asydid”, dan tidak digantikan oleh lafadh “Syibahahnya”, maka fi’il itu hukumnya “Langka”, tegasnya “Samaa’i”, jangan diqiyaskan. Contoh seperti lafadh “Maa ahshorohu”, dan seperti “Maa uhmiqoohu”, tegasnya di-mabni-majhulkan (Dipasifkan), dan seperti “Maa a’ssahu” dan seperti “a’si bihi”.

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 10 di atas :

وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا

Adapun perkara ma’mul fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu tidak boleh didahulukan, diakhirkan fi’il ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh “Maa ahsana zaedun”, tdk boleh dibaca “Zaedun maa ahsana”, dan seperti lafadh “Ahsin bi zaedin”, tdk boleh dibaca “Bi zaedin Ahsin”. Ilatnya ; “Liannaha min adawaatil ibtida-i”.

Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 11 di atas :

وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ

Adapun perkara antara fi’il ta’ajjub dengan ma’mulnya dipisah oleh “Huruf Jar”, atau “Dhorof” (keterangan waktu atau tempat), maka fi’il itu hukumnya rebutan kaol. Menurut sebagian kaol “Jamaatu Nahwiyyin” serta Imam Ajjurumie, boleh dipisah dengan “dhorof” atau “jar-majrur”. Menurut sebagian lagi tidak boleh, yaitu menurut Imam Akhfasy dan Imam Mubarrod.

Contoh yang boleh seperti lafadh “Maa ahsana fie haejaa’i liqoo ahaa” (Aduh alangkah bagusnya pada waktu susah menemui kekasih”) , dan seperti lafadh “Akrim fid-darbaati ‘athoo-a-haa” (Aduh alangkah mulyanya pada waktu susah memberinya tanda mata”. Adapun ilatnya kenapa boleh dipisah dengan “Dharaf” dan “Jar-majrur”, karena ; “Liannadh-dhorfa wal jarro la yu’taddu bihimaa faa shilan”. (Karena sesungguhnya dhorof dan jar-majrur tidak dihitung sebagai yang memisahkan). Wallohu ‘alam*** (Iqbal1)

Referensi :

1. Hasyiyah Al-’alamah Ibnu Hamduun ‘Ala Syarah Al-Makuudie Lil Al-fiyah Ibnu Maalik : (232-236).
2. Syarah Ibnu ‘Aqiel ‘Ala Al-fiyah Ibnu Maalik : (120-122)
3. Mutamimmah Ajjuruumiyyah : (A ; 36, B ; 388-389)
4. Tashielul Masaalik Fie Tarjamah Alfiyah Ibnu Maalik : (329-334)
5. Al-Amtsilatu At-Tashrifiyyah : (2-65)
6. Http://nahwusharaf.wordpress.com