Powered By Blogger

Jumat, 10 Juni 2011

Sekilas tentang an Nahw

Ilmu Nahw (selanjutnya disebut: INA) merupakan salah satu cabang ilmu dari 10 atau 12 ilmu dalam bahasa arab. Pada awalnya orang-orang arab tidak mengenal INA, ini di karenakan mereka paham benar dengan bahasa mereka sendiri sehingga mereka berbicara dalam bahasa arab secara natural (saliqoh). Setelah datangnya islam dan meluas ke berbagai daerah diluar tanah arab, maka barulah mulai bahasa arab sedikit demi sedikit mengalami kerusakan (baca: lahn), sehingga orang-orang arab yg sangat cinta dengan bahasa arab dan al Qur'an sadar akan perlunya perumusan (kodefikasi) tata bahasa arab.

Ada perbedaan pendapat tentang siapa orang yang pertama kali mengkodefikasikan INA, tetapi pendapat yg kuat bahwa Abu al Aswad ad Duali adalah orang pertama yang mengkodefikasikan INA, tepatnya di daerah Irak. Pada mulanya INA tidaklah di kenal dengan sebutan INA, tetapi dikenal dengan nama "al 'Arabiyyah", kemudian setelah INA berkembang pada level kedua maka ulam-ulama INA barulah menggunakan INA dalam menyebut cabang ilmu ini. Nama INA mereka ambil dari perkataan Ali ibn Abi Thalib ketika Abu al Aswad menyodorkan beberapa penemuannya tentang kaidah dalam INA, Imam Ali berkata: (Maa ahsan haaza an nahw allazi qod nahauta) "bagus benar contoh (an nahw) yang kamu buat.

Di bawah ini beberapa kisah sejarah tentang kesalahan penggunaan gramatikal bahasa arab yang menyebabkan perlunya pengkodefikasian INA, diantaranya:
1. Pernah salah seorang gubernur di masa khalifah Umar ibn Khattab memerintahkan ajudannya untuk menulis surat kepada khalifah Umar. Tetapi ajudan tersebut tidak menulis surat itu dengan bahasa arab yang benar, sehingga khalifah Umar memerintahkan gubernur tersebut untuk memberikan kepada ajudannya hadiah berupa cambukan (an qonni' kaatibaka sautho).
2. Di kisahkan juga bahwa khalifah Umar melewati beberapa orang yang tidak becus dalam memanah, lalu beliau menegur mereka, lalu mereka menjawab: (innaa qoumun muta'allimiin), dan yang benar adalah: (innaa qoumun muta'allimuun). Lalu khalifah umar berkata: (Demi Allah! Sesungguhnya kesalahan bahasamu itu lebih berbahaya dibanding kesalahan panahmu).
3. Di riwayatkan juga, pernah seorang arab desa yang murni bahasa arabnya datang ke pasar, dan ketika itu ia mendengar suara azan "Asyhadu anna Muhammadan Rasulallah", dan yang benar adalah "Rasulullah". Lalu ia berkata: celaka! Apa-apaan muazzin itu. Kemudian ia masuk pasar dan mendengar banyak orang arab yang salah dalam berbahasa, lantas ia mengatakan: "subhanallah! Yulhinuun wa yarbahuun, wa nahnu laa nulhin wa laa narbah" (subhanallah! Mereka salah tapi mendapat untung, sedangkan kami tidak salah tapi tidak mendapat untung).

Inilah beberapa kisah tentang kesalahan-kesalahan gramatikal bahasa arab di awal-awal islam. lalu, bagaimana dengan sekarang...? Tentunya untuk saat sekarang ini bahasa arab sudah sangat jauh dari kaidah asalnya. Sehingga untuk hukum mempelajari bahasa arab juga tentunya berubah. Dulu dikatakan fardhu kifayah, tetapi sekarang menjadi fardhu 'ain, ini dikarenakan bahasa arab merupakan bahasa al Quran. Kalaulah bahasa arab rusak dan kita sebagai umat islam tidak dapat memahami bahasa al Quran, maka habislah sudah islam dan muslimun.

Oleh karena itu kamu-kamu pemuda-pemudi islam yang hebat, pelajarilah bahasa arab dengan penuh semangat, mulailah dengan INA sebagai kunci awal, karena jika kamu-kamu jago INA maka ilmu-ilmu yang lain akan ngikut, dan ada dua hal yang perlu kamu ingat, pertama: INA itu bukanlah sekedar mubtada' marfu', maf'ul manshub, dan mudhof ilaih majrur, tetapi INA lebih dari itu, oleh sebab itu gali teruslah INA. Dan yang kedua: para ahli nahw yang ada kebanyakan bukan orang-orang arab, sebagai contoh: sibawaih (bapaknya INA) orang persia, ibnu manzhur (pengarang lisanul 'arab kamus terbesar dalam bahasa arab) orang afrika, dan ibnu malik (pengarang alfiyyah) orang spanyol. Ini berarti kamu-kamu sebagai orang indonesia suku jawa, batak, melayu, banjar dll juga bisa menjadi seperti mereka, bahkan lebih. Jadi dari sekarang dan seterusnya, teruslah jadikan bahasa arab dan al Quran sebagai pacar yang senantiasa kamu cintai untuk selamanya. Wallahu a'lam...

Rabu, 01 Juni 2011

Shorof : Al-Muqoobalatu (Fa fi-‘il ; ‘Ain fi’il ; dan Lam fi’il)

Al-muqoobalatu artinya ber-hadap2an atau mencocokkan. Sebagian besar dari fi-’il2 di dalam bahasa arab (Menurut Ilmu Shorof) asalnya tiga huruf. Seperti ma-na-‘a ; ka-ta-ba dll.

Contoh :

Ma-na-‘a dikatakan atas timbangan Fa-‘a-la (kiyas dari wazan Fa-‘a-la).

Jadinya begini ; Fa-‘a-la = Ma-na-‘a.
فَعَلَ = مَنَعَ

Oleh sebab Mim berhadapan atau berbetulan dengan fa dari fa-‘a-la, maka dikatakan Fa fi-‘il. Dan Nun itu oleh sebab berhadapan dengan ‘ain dari fa-‘a-la, maka dikatakan ‘Ain fi-‘il, dan ‘Ain itu lantaran berbetulan dengan lam dari fa-‘a-la, maka dikatakan Lam fi-‘il. Begitulah sekalian fi-‘il yang asalnya tiga huruf, yakni tiap2 fi-‘il yang asalnya tiga huruf itu, huruf yang pertama dikatakan fa fi-‘il, walaupun bukan fa. Dan yang kedua dinamakan ‘ain fi-‘il, walaupun bukan ‘ain. Dan yang ketiga disebut lam fi-‘il, walaupun bukan lam.

Kalau fi-‘il itu bertambah hurufnya seperti yam-na-‘u, yam-na-‘uuna atau im-ta-na-‘a umpamanya, maka huruf yang bertambah itu tidak dihitung, tetapi tetap kita berkata mim itu fa fi-‘il, nun itu ‘ain fi-‘il dan ‘ain itu lam fi-‘il. Selain dari itu dinamakan zaidah, yakni huruf tambahan.

Dan terkadang fi-‘il itu asalnya empat huruf seperti da-h-ro-ja atas timbangan fa-’-la-la, maka dal itu dikatakan fa fi‘il, ha itu ‘ain fi’il, serta ro lam fi’il yang pertama, jim itu lam fi’il yang kedua.

Kalau bertambah seperti mu-da-h-ri-jun atau mu-ta-da-h-ri-ja-tun, maka tambahan itu tidak dihitung, yakni tetap dikatakan dal itu fa fi-‘il ; ha itu ‘ain fi-‘il ; ro itu lam fi-‘il pertama dan jim itu lam fi-‘il yang kedua. Selain dari itu dikatakan huruf zaidah (tambahan).

Catatan ini mudah2-an berguna mengingatkan diri penulis sendiri yang lupa, atau belum berkesempatan memahami istilah yang digunakan tatkala melihat perubahan2 kalimah ke bentuk lain menurut wazannya – serta mauzunnya. Secara filosofis hal ini sangat penting ditegaskan untuk menghalangi (ma-na-’a) kelancangan. Tanpa memahami posisi perubahan2 bangunan kalimah dalam bahasa arab, sulit diterima kemampuan seseorang yang coba menulis (ka-ta-ba), mengutarakan pendapat serta pemahamannya dengan terbuka kepada khalayak (tabligh) tentang Al-qur’anul kariem, sunnah nabi, qoul ulama, dll. yang nota bene tersurat dengan Bahasa Arab tersebut. Lebih baik menghalangi kesalahan, daripada keliru menggunakan ro’yu, atau berupaya sungguh-sungguh memahami fan ilmu alat / shorof dahulu, karena riskan resikonya apabila menyalahi. Dengan contoh kecil beginilah ‘lidah-lidah’ dan tinta para ulama senantiasa basah laksana nan tak pernah kering berbuat (fa-’a-la), menjaga originalitas atau keotentikan kalamulloh dan sunaturrosul. -Wallohu subhaana wa ta’alaa bil ‘alam-